Sabtu, 12 Juli 2014

Diskusi 50 Tahun Provinsi Sulteng

Diskusi 50 Tahun Provinsi Sulteng
Ekonomi Tumbuh di Tengah Kemiskinan yang Masip 


MEMERINGATI ulang tahun emas Provinsi Sulteng, Palu Ekspres menggelar diskusi membedah ekonomi Sulteng yang berlangsung di Palu Golden Hotel, 8 April 2014 lalu. Diskusi secara khusus membedah pertumbuhan ekonomi dan pemerataan kemiskinan. Berikut sari diskusi yang berlangsung tiga jam lebih itu.

Beragam opini disampaikan. Banyak saran dan kritik dikemukakan. Diskusi ini untuk memaknai perjalanan 50 tahun Sulawesi Tengah sekaligus melihat secara kritis apakah pembangunan ekonomi sudah berada di jalur yang benar atau sebaliknya.
Audiens rata-rata adalah dosen ekonomi Untad, mahasiswa maupun pegiat organisasi. Sejumlah dosen senior sebut misalnya, Arifuddin Bidin, Prof Zainal Mangitung tampak antusias pada diskusi yang baru berakhir pukul 23.17 wita itu. Hadir juga beberapa dosen muda di antaranya, Mochtar Marhum. Sebagai pembicara, Ahlis Djirimu, Tasrief Siara dan Nur Sangadji. Sedangkan pembanding hadir Bunga Elim Somba, Dosen Pertanian Untad yang kini ‘’dikaryakan’’ sebagai Asisten II Sekretariat Daerah yang mengoordinir Bappeda, Biro Ekonomi, Biro Pembangunan dan BPPD serta instansi teknis di bidang  ekonomi. Diskusi panjang dengan melibatkan sejumlah pembicara dan audiens yang paham benar soal perekonomian di Sulteng.
Tasrif Siara pegiat sosial kemasyrakatan yang sehari-hari bergelut dengan rakyat di lapisan terbawa melalui wadah Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat Mandiri (PNPM) memahami benar seperti apa denyut kehidupan ekonomi kaum papa. 
‘’Sayangnya, politik anggaran pemerintah sepertinya salah arah,’’ demikian mantan reporter Radio 68H Jakarta berujar. Alih-alih anggaran untuk memberdayakan rakyat, APBD yang dibahas oleh pemerintah dan DPRD justru dialokasikan pada biaya entertaint pejabat. Mulai dari pemeliharaan kendaraan dinas, makan minum dan pelesiran. Angkanya kutip Tasrief juga tak kalah fantastis. Jauh di atas belanja langsung yang hanya Rp337 miliar. Biaya pemeliharaan mobil pejabat dan alat tulis kantor angkanya Rp481 miliar serta makan minum Rp57 miliar. Jika dibagi pada skala terkecil, para pejabat kita harus menghabiskan Rp4 juta lebih untuk makan minum. Jika serapan anggaran makan minum ini tidak dihabiskan maka prestasi pimpinan instansi dipastikan minus karena tidak bisa menyerap anggaran secara optimal. Serapan anggaran memang menjadi variabel penilaian kinerja pemerintah – walau tak perlu ambil pusing apakah serapan itu berkaitan dengan kemaslahatan orang banyak atau tidak. ‘’Paradoks,’’ kata Acip sapaan akrabnya. Padahal APBD mestinya dikelola secara bertanggungjawab sehingga mampu memberikan daya ungkit terhadap ekonomi warga. Dengan demikian APBD yang dipungut dari masyarakat tidak untuk semata-mata membiayai mesin birokrasi.
Model pengelolaan anggaran semacam ini tentunya sangat berbahaya jika semua pimpinan daerah di kabupaten/kota juga melakukan pola serupa.
Untuk profil APBD Pemerintah Provinsi dan 12 Pemerintah Provinsi/Kabupaten/Kota di wilayah Sulawesi Tengah, secara keseluruhan pada tahun 2013, APBD gabungan se-Sulawesi Tengah terdiri dari penerimaan Pendapatan sebesar Rp 9,5 triliun, pengeluaran Belanja sebesar Rp9,8 triliun, dan pembiayaan netto sebesar Rp245 miliar. Selanjutnya untuk alokasi dana transfer, wilayah Sulawesi Tengah masih didominasi oleh Dana Alokasi Umum, yaitu 82 persen dari keseluruhan alokasi dana transfer. Menurut Ahlis apabila dibandingkan dengan total pendapatan, maka hampir semua daerah di Provinsi Sulawesi Tengah memiliki proporsi dana transfer terhadap total pendapatan melebihi 70 persen. ‘’Hal ini berarti wilayah Provinsi Sulawesi Tengah masih tergantung pada pemerintah pusat untuk membiayai segala kewajibannya terkait dengan pembangunan dan pemerintahan. Hal ini bukan merupakan sinyalemen positif yang mendukung tujuan kemandirian daerah  karena ternyata otonomi daerah belum dapat mengurangi ketergantungan daerah,’’ ungkapnya.
Nah di tengah eufhoria kita terhadap pertumbuhan ekonomi yang begitu tinggi ada kekhawatiran, bahwa pertumbuhan ekonomi itu tidak berbanding lurus dengan kondisi masyarakat ketika kita melihat angka indeks gini yang bergerak meningkat.  Artinya porsi pembangunan tak terdistribusi merata.  Ini bisa menimbulkan efek ketidakadilan gini rasio Sulawesi Tengah cenderung meningkat dari 0,29 pada Tahun 2009 menjadi 0,40 poin pada Tahun 2012.

Mohammad Ahlis Djirimu pembicara lainnya, mengomentari pertumbuhan ekonomi Sulteng yang begitu tinggi dengan menyebutnya pertumbuhan yang membenamkan. Apa sebab? Ini karena pertumbuhan ekonomi naik namun kesenjangan justru semakin melebar. Bisa dilihat dari berapa jumlah anak-anak di daerah ini yang bisa mengakses ke Perguruan Tinggi. ‘’Jumlahnya hanya 13 persen anak-anak kita yang sekolah di Perguruan Tinggi. Fenomena pertumbuhan yang membenamkan,’’ katanya. Daerah terbesar yang tidak bisa mengakes pendidikan dasar hingga perguruan tinggi adalah Kabupaten Parigi Moutong. Keberadaan suku pedalaman Lauje di daerah itu adalah penyumbang tertinggi di banding daerah lainnya di Sulawesi Tengah. Data ini dilansir oleh Tim Nasional Percepatan Penanggulangan Kemiskinan 2012.
Demikian pula dengan penduduk miskin. Mengutip data BPS yang dirilis September 2013, rekor penduduk miskin masih dipegang Kabupaten Tojo Unauna.

Nur Sangadji pembicara lainnya, meminta Pemda untuk tidak mengabaikan masalah biodiversity. Keanekaragaman hayati yang dipunyai Sulteng, akan memberikan nilai tambah ekonomi yang baik asalkan dikelola secara baik dan terarah. Ia menyebut ibu Banggai di Bangkep dan sidat di Poso. Potensi yang dibiarkan merana.  Di mata Nur Sangadji, tidak salah pemerintah menggarap potensi  tambang yang potensinya berlimpa ruah. Namun jangan pula mengabaikan masalah keanekaragaman hayati karena di sanalah mayoritas warga miskin kita berada.
Ada nilai deposit kebangsaan yang kita dapat ketika menseriusi sektor ini. Indonesia sebagai negara agraris dengan 80 persen lebih penduduknya berkutat di bidang pertanian namun setiap hari kita mengonsumsi beras Vietnam, jagung dari India bahkan bawang putih dari Singapura sebuah negara pulau yang tak punya tanah untuk menanam bawang putih. Dengan menggalakkan potensi keanekaragaman hayati yang khas seperti ubi Banggai dan sidat di Poso maka ada dua nilai yang bisa dipetik. Tegaknya harga diri petani dan tentunya kedaulatan pangan. ‘’Impor pangan tidak bisa semata-mata dilihat untuk memenuhi cadangan pangan menjelang Idul Fitri atau Natal dan Tahun Baru. Ini juga kaitannya dengan harga diri petani kita yang berdiri di atas negara agraris,’’ katanya.

Nah Sulteng sebisa mungkin jangan menjadi bagian dari negeri ini yang terpaksa harus menggantungkan konsumsi warganya dari pangan impor. ‘’Kuncinya ya itu tadi. Di sini ada sidat dan ubi Banggai,’’ ujar mantan fasilitator CDS Kota Palu ini.
Bunga Elim Somba mewakili Gubernur Sulteng, merespons datar kritikan para pembicara. Menurut Elim kita hanya memotret kondisi yang terjadi sekarang. Namun tidak berusaha jujur pada kondisi yang sebelumnya. Artinya, dibandingkan sebelumnya kondisi sekarang yang menjadi objek kritik situasinya jadi lebih baik. Walau demikian ia membenarkan sektor sektor yang masih kurang dari capaian. Misalnya, kemiskinan masih tinggi, pada 2008 sebesar 24 persen dan tahun 2012 14 persen. Kritik soal alokasi anggaran pada dinas dan badan menurut Elim, harus dilihat secara proporsional. Pemprov  Sulteng dengan 52 unit satuan kerja (SKPD) memang membutuhkan alokasi anggaran yang besar, termasuk gaji dan kebutuhan administrasi. Walau demikian pemerintah tetap mendorong agar proporsi belanja publik jauh di atas belanja pegawai.  
Walau demikian harus diakui, Sulteng di usia emasnya 50 tahun masih harus tergantung dari pusat.
Soal anomali pertumbuhan ekonomi yang tidak berbanding lurus dengan penurunan angka kemiskinan, mantan Kepala Bappeda Sulteng dan staf ahli Gubernur ini, mengakui ada fenomena seperti itu. Pemerintah menempatkan penanganan ekonomi pada jangka pertama yang akan diatasi. Saat ini pemerintah provinsi dan kabupaten/kota sedang giat-giatnya melakukan upaya ini. Sebut misalnya, zero poverty di Kota Palu dan bedah kampung. Ada lima kabupaten di Sulteng yang menjadi sasaran bedah kampung. Program ini disinergikan dengan program penanggulangan kemiskinan di kabupaten/kota. Selain itu  adanya program pemerintah pusat yang diluncurkan di daerah sedikitnya ikut menggerus angka kemiskinan. Sebut misalnya program Kementerian Pekerjaan Umum melalui Pembangunan Peningkatan Infrastruktur Perdesaan (PPIP). Program ini menyasar pembangunan infrastruktur di desa dengan sistem swakelola. Dengan berbagai pendekatan yang dilakukan itu, ungkap Elim pemprov setidaknya mampu menurunkan angka kemiskinan dari 557.400 jiwa atau 22,42 persen pada 2007 menjadi hanya 409.600 jiwa atau 14,94 persen pada 2012. Dengan demikian jumlah penduduk miskin yang entaskan pada rentang waktu itu kata Elim sebanyak 147.800 jiwa atau 14,48 persen. 
Sedangkan untuk penanganan kualitas sumber daya manusia, diletakan pada periode jangka panjang.
Yang menarik adalah pendapat yang dikemukakan Dosen Untad Arifuddin Bidin. Dosen senior Untad ini mengaku, bahwa pertumbuhan ekonomi nomor 2 di Indonesia bukan capaian yang membanggakan.
Pemerintah pusat katanya memberikan sejumlah kewenangan pada pemerintah daerah untuk mengeluarkan  izin usaha pertambangan (IUP). Para pimpinan di daerah lalu mengobral IUP untuk usaha pertambangan baru. Lalu ada pula izin perkebunan. Akibatnya munculah perkebunan dalam jumlah besar. Padahal tidak disadari perkebunan skala besar melahirkan kemiskinan baru di sekitarnya. Soal tekad pemerintah yang menjadikan Sulteng sejajar di KTI dalam agribisnis dan kelautan melalui peningkatan kualitas SDM berdaya saing, menurutnya ini juga perlu dipertanyakan.  Apakah agribisnis mikro dan makro lebih baik dari pada 3 tahun lalu ?  Dalam amatannya, salah satu problem besar pada tercapainya visi misi gubernur adalah karena instruksi gubernur hanya diketahui 50 persen oleh bawahannya dan hanya 25 persen yang sampai di masyarakat.
Pada titik ini katanya ada lagi problem mendasar di birokrasi yang selalu terjebak pada terminologi/nomenklatur. Mestinya provinsi bisa menghibahkan dana-dananya untuk kepentingan penanganan kemiskinan. Namun ini urung dilakukan karena terkendala nomenklatur. Ketika dana-dana itu di kabupaten/kota nomenklaturnya berubah dana itu bukan lagi dana Pemprov. ‘’Padahal kalau jatuhnya ke rakyat kan tidak apa-apa. Ini kan masalah istilah saja. Hanya soal nama saja. Menurut saya ini lucu,’’ katanya tersenyum. (yardin hasan)